Kamis, 06 Mei 2010

Indonesia Dijajah Tiga Setengah Abad : Sebuah Mitos?

Orang sering percaya kepada sesuatu karena banyak orang mempercayainya. Banyak orang bahkan tidak perlu memikirkan benar atau tidak tentang sesuatu yang dipercayai karena bnyak orang juga percaya. Demikian juga dengan pernyataan yang mengatakan bahwa Indonesia dijajah tiga setengah abad oleh Belanda.

Sering kita mendengar pernyataan yang mengatakan bahwa Indonesia dijajah selama tiga setengah abad oleh Belanda. Dari presiden sampai ketua RT selali mengatakan hal yang sama terutama pada momen peringatan hari kemerdekaan. Bahkan dalam teks resmi buku pelajaran sejarah dari tingkat SD sampai perguruan tinggi juga selalu ditulis bahwa Indonesia dijajah oleh Belanda selama tiga setengah abad.

Pernyataan itu perama kali dicetuskan oleh Ir. Soekarno, proklamator kita. Hal itu pada awalnya bertujuan untuk membangkitkan semangat bangsa Indonesia, agar bangkit dari keterpurukan, memberi penyadaran pada bangsa Indonesia bahwa hidup dijajah merupakan keterhinaan sehingga berani melawan Belanda dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.

Akan tetapi, pernyataan itu ibarat pedang bermata dua, di satu sisi ungkapan tersebut ingin menunjukkan betapa kejamnya Belanda karena begitu lama menjajah Indonesia, di sisi lain justru menusuk harga diri kita sebagai suatu bangsa. Karena jika benar kita dijajah tiga setengah abad, hal itu menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang pasif, lemah dan bodoh. Bukankah bangsa yang dijajah sekian lama adalah bangsa yang seperti itu?

Pernyataan bahwa Indonesia dijajah selama tiga setengah abad tidak bisa dipertanggungjawabkan, bahkan cenderung bersifat hiperbola dan perlu diluruskan. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan dasar untuk mengoreksi pernyataan tersebut.



Penjajahan Membutuhkan Proses
Pernyatan bahwa Indonesia dijajah selama tiga setengah abad didasarkan pada saat kedatangan Cornelis de Houtman pada tahun 1596. pertanyaan kita sekarang apakah teoat kedatangan de Houtman yang hanya membawa armada sebanyak 4 kapal dan mendarat di Banten dijadikan dasar mulainya penjajahan Belanda di Indonesia? Apalagi kemudian Cornelis de Houtman diusir dari Banten karena bersifat arogan. Alangkah sederhana sekali dasar teori yang kita pakai apabila kita sepakat dengan teori tersebut karena dapat dikatakan Cornelis de Houtman tidak melakukan proses apapun baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun militer sebagai upaya penaklukan terhadap wilayah di nusantara. Dapat dikatakan dia hanya sempat mengagumi keindahan dan kekayaan alam Indonesia. Mungkin dia hanya sempat berfikir, “It’s a beautiful place” dan diusir pergi.

Hubungan antara Kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan VOC bersifat Simbiose Mutualisma dan Berorientasi Ekonomi
Setelah kegagalan Cornelis de Houtman lebih banyak lagi pedagang-pedagang Belanda yang mendarat di Nusantara, belajar dari pengalaman Cornelis de Houtman pedagang-pedagang Belanda memperbaiki sikapnya sehingga mereka bisa diterima oleh raja-raja pribumi. Puncak dari aktivitas perdagangan bangsa Belanda adalah ketika mereka membentuk sebuah organisasi dangan yang disebut VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) atau Serikat Perusahaan Hindia Timur pada tahun 1602.

VOC mulai membangun kekuasaannya pada tahun 1618 ketika Jan Pieterzoon Coen menjadi gubernur jenderal VOC di Batavia. Dengan hak-hak istimewa yang dimiliki seperti hak Octroi atau izin dagang, hak memiliki tentara dan menyatakan peran serta mencetak mata uang membuat VOC mampu melakukan ekspansi ke sebagian besar wilayah Nusantara. Akan tetapi perlu dipahami bahwa ekspansi VOC membutuhkan waktu yang sangat lama dan menghadapi perlawanan dari sebagian kerajaan di Nusantara. Contoh yang membuktikan bahwa VOC membutuhkan proses lama dalam menanamkan pengaruhnya di Nusantara adalah kerajaan Mataram, Mataram mengakui kekuasaan VOC baru tahun 1755 ketika mereka menandatangai Perjanjian Giyanti. Contoh lain adalah kerajaan Ternate, Ternate mengakui kekuasaan VOC pada tahun 1683. Di samping itu ketika VOC berkuasa masih banyak kerajaan-kerajaan di Nusantara yang masih berdaulat seperti Aceh, Sumatera Barat, NTT, sebagian Papua, Bali dan masih banyak lagi.

Perlu dipahami pula bahwa hubungan antara VOC dengan elit-elit politik pribumi seperti raja, sultan, dan sebagainya bersifat simbiose mutualisme yaitu hubungan yang saling menguntungkan baik secara ekonomi maupun politik. VOC memperoleh hak monopoli sementara para penguasa atau elit pribumi memperoleh dari kerja sama tersebut.

Harus diakui bahwa VOC juga berwatak seperti halnya aum penjajah lainnya, yaitu mengeksploitasi kekayaan alam, hal itu disebabkan karena VOC memang berorientasi pada kepentingan ekonomi. Akan tetapi justru karena orientasi ekonomi tersebutlah yang menyebabkan kurang berminat pada aspek politik, sosial, dan budaya. Hal itulah yang menyebabkan VOC hanya memusatkan perhatiannya pada kerajaan atau wilayah tertentu yang memiliki potensi ekonomi tinggi. Dengan demikian, banyak kerajaan di daerah pedalaman yang masih berdaulat penuh

Perlawanan Rakyat terhadap Pemerintah Kolonial Belanda
Ketika VOC akhirnya dibubarkan pada tahun 1799 akibat mengalami kebangkrutan, kekuasaan diambil alih oleh Pemerintah kolonial Belanda yang dikendalikan langsung dari Nederland. Berbeda dengan VOC yang berorientasi pada kepentingan ekonomi semata, Pemerintah Kolonial Belanda mempunyai kepentingan yang lebih luas yaitu menciptakan Pax Neerlandica yaitu persatuan kerajaan-kerajaan di Nusantara dalam satu hukum dan pemerintahan Kolonial Belanda.
Satu hal yang perlu diingat bahwa ketika peralihan kekuasaan itu terjadi, di wilayah Nusantara masih banyak kerajaan-kerajaan yang masih berdaulat seperti Aceh, Sumatera Barat, NTT, sebagian Papua, dan Bali. Ketika Belanda berusaha untuk mewujudkan Pax Neerlandica banyak kerajaan, terutama yang masih berdaulat melakukan perlawanan dengan hebat dan gagah berani.
Di Sumatera Belanda menghadapai perlawanan yang sangat hebat dari rakyat Aceh dan Minangkabau. Rakyat Aceh melakukan perlawanan yang gagah berani terhadap Belanda dan baru berhasil ditaklukkan Belanda pada 1904 ketika dipaksa menandatangani perjanjian Traktat Pendek. Sementara perlawanan rakyat Minangkabau berhasil dikalahkan oleh Belanda pada tahun 1837.
Di Kalimantan, Bali dan Jawa Tengah Belanda juga mengalami perlawanan yang sama. Di Bali Belanda mendapat perlawanan sampai titik darah penghabisan dengan perang yang disebut Perang Puputan yaitu perlawanan sampai mati. Bali akhirnya menyerah pada tahun 1909 setelah selama 55 tahun melakukan perlawanan terhadap Belanda. Rakyat Banjar di Kalimantan Selatan juga melakukan perlawanan dan baru bisa dikalahkan Belanda pada tahun 1863. di Jawa Tengah, Pangeran Diponegoro juga melakukan perlawanan yang sangat heroik dari tahuan 1825 – 1830.

Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pernyataan Indonesia dijajah selama tiga setengah abad adalah pernyataan yang tidak benar, karena tiap daerah di Indonesia mengalami proses penjajahan yang tidak sama waktunya. Di samping itu perlawanan yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan di Indonesia menunjukkan bahwa daerahn seperti Aceh dan Bali baru dikuasai Belanda pada awal abad ke-20. Di samping itu sebagian kerajaan di Papua dan NTT berada di bawah administrasi pemerintah kolonial Belanda pada awal abad keduapuluh pula.

Prijobekti Prasetijo, S.Pd.
Guru SMA I Purworejo



Sumber : majalah KIPRAH volume 19 no.08 Agustus 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar