Sabtu, 05 Juni 2010

Pembeli Hanya Merepotkan!!

Pembeli adalah raja? tampaknya pameo itu sudah usang di zaman ini. Yang benar adalah "pembeli hanya merepotkan", seperti cerita pembuat hok lo pan di novel Maryamah Karpov karangan Andrea Hirata. Memang bisa dimengerti sikap penjual tersebut, tetapi tetap saja membuat jengkel.

Ceritanya dalam kurun waktu sepekan ini sudah beberapa kali saya dikecewakan oleh sikap penjual makanan. Kejadian pertama adalah pada hari rabu 2 Juni 2010 di warung nasi "Sederhana", Kalimangso, Jurangmangu Timur (kawasan pada mahasiswa STAN). Di kalangan mahasiswa warung ini lebih terkenal dengan sebutan 'Warung Bu Bor', alias Bu Boros. Entah bagaimana awalnya disebut begitu, tetapi memang sejak saya kuliah D3 dulu harga di warung ini lebih tinggi dari rata-rata warung di Kalimangso, sehingga bila rajin berkunjung ke sana bisa dipastikan terjadi pemborosan uang saku.

Siang itu saya hendak membeli sayur dan lauk saja, karena di rumah sudah tersedia nasi.
Hal ini biasa saya lakukan tetapi memang di Bu Bor baru sekali itu. Singkat cerita setelah antri sebentar tibalah giliran saya bertransaksi.

"Mas-e?" kata pelayan kepada saya. Maksudnya menanyakan apa pesanan saya, dia sudah siap dengan food wrapper kertas coklat yang siap membungkus sembari menciduk nasi. "Beli sayurnya aja mas", jawab saya sambil melirik deretan sayur di etalase. Lumayan banyak, ada sayur kacang, orek tempe, ayam, ikan, kangkung, acar sunda (ada lagi tetapi saya lupa apa saja). "Wah, gak jualan sayur mas", kata pelayan tadi sambil tersenyum. Saya kaget, spontan saya protes "lho ini kan ada?", karena memang dalam sepersekian detik di pikiran saya terlintas bahwa pelayan tadi berkata seperti itu karena mengira sayurnya habis.

"Kita gak jualan sayur mas... Kalo nasinya banyak, sayurnya sedikit.." kata Bu Bor sang maestro menimpali dari belakang pelayan tersebut. Nadanya agak tinggi gimana gitu, tidak enak didengar. Saya langsung malas berargumentasi dan hanya meninggalkan warung setelah berkata, "kok gak boleh sih!" dan ditambah dalam hati, "warung macam apa nih!" hehehe... akhirnya saya kembali dan membeli sayur di warung lain.

Kejadian kedua adalah saat saya dalam perjalanan menuju kampung halaman dengan kereta api Sawunggalih Utama dari Pasarsenen tujuan Kutoarjo, keesokan harinya. Kebetulan waktu itu istri saya ingin membuat kopi -- sebuah kopi pracampuran herbal gitu-- tetapi kami tidak membawa bekal air panas. Karena di atas kereta memang hanya ada petugas dari Reska (restoran KA), maka saya bermaksud membeli segelas air panas kepada salah satu petugas yang lewat.

"Pak, ada air panas?" tanya saya. Petugas tadi kok mengernyitkan dahi dan malah bertanya balik, "air panas saja pak?"
"iya", jawab saya. Kata petugas, "beli yang lain dong pak, masak cuma air panas. Bapak aja lah yang ambil ke sana!" tukasnya sambil memberi isyarat arah gerbong makan dengan kepalanya. "oh, ya udah." kata saya, malas meneruskan pembicaraan.

Saya dan istri hanya geleng-geleng kepala karena kejadian tadi. Kata istri saya, mungkin kurang jelas bilangnya, dikira petugas tadi hanya meminta saja bukan membeli. Benar saja, saat ada petugas lain lewat dan saya tanya, "Pak, BELI air panas bisa?" petugas tersebut menjawab, "Bisa bisa pak, pake gelas saja ya pak?". "ya, boleh satu gelas saja pak, terimakasih", jawab saya. Tak berapa lama pesanan air panas datang dan saya bayar dengan agak mahal sebagai bentuk apresiasi atas pelayanan petugas tersebut.

Satu lagi kejadian yang saya alami dua hari selang perjalanan kereta tadi yaitu di warung Bakso Pak Jenggot di kawasan jalan raya Prembun. Agak beda sih ceritanya, setelah memesan bakso saya dan istri memesan 2 es jeruk kepada seorang pelayan. Tepatnya, kepada pak Jenggot sendiri hla beliau yang menanyakan setelah kami duduk mau minum apa.

Tak berapa lama seorang pelayan (kami tahu namanya sebut saja W) mendekati meja kami dan menanyakan mau pesan minuman apa. Saya jawab, "es jeruk 2, tadi sudah pesan kok" dan dia pun berlalu. Singkat cerita bakso sudah hampir habis dan agak kepedesan tetapi kok pesanan minuman belum datang. Saya tengok ke bagian minuman pak Jenggot ternyata menghilang entah kemana, barangkali dia lupa. Sementara pelayan W sudah sibuk membuatkan pesanan pelanggan lain yang datang belakangan. Tak kurang akal kami memesan lagi kali ini kepada ibu Jenggot yang lewat. "Bu, es teh 2 ya!". Ibu tersebut pun menjawab "(iya), es teh?" saya mengangguk saja.

Tak berapa lama pelanggan datang dan bu Jenggot dengan santainya meracik bakso untuk mereka, weeiiittss mana es teh kami? Yah barangkali lupa lagi (mending tidak menghilang). Karena bakso sudah habis dan rasa haus maka akhirnya saya ambil minuman botol di kulkas. Saat membayar ternyata ketahuan harga minuman botol itu lebih mahal daripada es teh padahal kami lebih suka es teh asli dengan sensasi mengaduk-aduk gula pasir itu lho. Dan yang sangat menyesakkan adalah sang penjual tidak ada inisiatif meminta maaf atau mengklarifikasi mengapa pesanan kami tidak datang-datang ( yaa mungkin jeruknya harus metik dulu atau gimana) bahkan senyum juga tiddak. Ah, saya jadi males ke sana lagi (untuk hari ini, hehehe... ya iya lah).

Itulah beberapa kejadian yang saya dan istri alami beberapa hari ini. Walaupun berbeda-beda tetapi core-nya sama saja : intinya adalah pelecehan terhadap konsumen. Seolah olah konsumen datang ke situ dengan meminta-minta dan memelas, bukan dengan terhormat dan membayar sesuai tarif. Bahkan lebih parah seolah konsumen adalah makhluk gaib karena tidak terlihat sehingga tidak dapat diberi senyuman atau berkomunikasi sepantasnya sebagai manusia.

Satu lagi bahwa ternyata ketiga cerita tersebut tokohnya dalah pemegang monopoli minoritas dagangannya di kawasan masing-masing. Bu Bor sudah punya kelas tersendiri di Kalimangso. Reska, sejak pedagang asongan diharamkan naik kereta maka dia menjadi pemegang penjualan makanan utama di perjalanan kereta api. Pak Jenggot adalah warung bakso legendaris yang tiada tandingannya di jalan raya Prembun. Walaupun dengan sekuat tenaga saya mencoba menghapus prasangka buruk, tetapi tetap ada sebuah prasangka yang menjadi stigma di otak : mentang-mentang udah laris jadi sok!!

Sungguh tiada maksud mendiskreditkan pihak pihak tertentu khususnya para penjual makanan di dalam tulisan ini. Saya hanya mencoba memotretnya dari sudut pandang saya saja sebagai konsumen yang merasa (agak) dirugikan oleh sikap penjual yang tidak terpuji. Untuk yang berperan sebagai penjual; tolong tunjukkan empati dan profesionalisme anda. Pembeli datang bukan dengan meminta minta, tetapi membayar sehingga wajar anda layani dengan baik. Tempatkan diri anda bila di posisi konsumen tadi, apakah anda terima diperlakukan tidak terpuji seperti itu? Memanusiakan manusia, lah, istilah kerennya.

Kepada segenap konsumen Indonesia (halah, lebay), yuk lebih selektif dalam memilih tempat anda berbelanja. Jangan jadikan ketergantungan anda terhadap salah satu merk atau tempat membuat anda menutup mata, perlakuan penjual apapun anda terima mentah mentah. Tidak. Anda punya hak sebagai konsumen. Cara paling sederhana, tinggalkan, tidak usah beli di situ lagi. Cara lain bisa meminta bantuan hukum. Semua terletak di tangan anda, silakan memilih.

Akhirnya semoga tulisan ini bermanfaat bagi anda semua. Kritik dan saran tetap saya tunggu. Terutama bagi yang ingin sharing pengalaman, minimal dengan sharing anda sudah mengurangi beban pikiran anda. Semoga

Prembun, Juni 2010

kang A Se

Jumat, 04 Juni 2010

Black Monday

Tragedi Freedom Flotilla (arti harfiahnya : armada kecil kebebasan) yang menewaskan dan melukai aktivis kemanusiaan sangat menyesakkan dada kita semua. Mencoba bicara terlepas dari Israel dalam pandangan kajian Islam, saya mengajak semua orang sekedar sebagai manusia, apapun agama Anda, untuk sekedar (lagi lagi sekedar) menyadari bahwa Israel adalah salah dan pelaku kejahatan. Mungkin bagi Anda ada keraguan-keraguan yang terlontar setelah membaca media massa, atau menonton tv yang kadanag tidak berpihak kepada Palestina. Tapi saya punya jawabannya kok.

Untuk yang muslim mungkin berpikir mengapa harus membantu mereka. Anda bagaimana, wong sudah jelas dalam Islam selain ada kewajiban terhadap sesama muslim, juga ada hak-hak non-muslim dan makhluk lain yang menjadi kewajiban kita untuk memenuhinya,nah kebayang kan kalo kita aja disuruh (misalnya) mematuhi adab-adab menyembelih ayam, lalu bagaimana dengan membela hidup sesama manusia khususnya di daerah konflik tersebut.



Kemudian ada lagi yang berpikiran ngapain sih repot mikirn hal itu, masalah di dalam negeri saja masih banyak, kemiskinan, kelaparan, dan sebagainya. "Mbok ya urus dulu masalah dalam negeri, baru bantu luar begeri", kira-kira seperti itu mikirnya. Jawabannya adalah; hey bung, anda berpikiran picik. UUD negara kita jelas menyuratkan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. (maksudnya udah tau kan? apa perlu dijelasin lagi bahwa Israel itu menjajah PAlestin?). RI pun meratifikasi pernyataan HAM, dan berbagai hukum internasional 'yang baik-baik' semua diratifikasi. Harusnya dipatuhi dong. Cuman saya nggak enak kalo menuduh bahwa sikap diam atas penjajahan ini adalah pembangkangan terhadap UUD.. terlalu jauh kali ya.

Kemudian politik luar negeri RI adalah bebas aktif. Bebas iya (yaa walopun tau sendiri lah agak-agak condong ke mana), aktifnya itu (dalam masalah Palestina) masih agak kurang, hehe. Trus, jangan salah bro, Indonesia kalo pas proklamasi gak ada pengakuan negara lain (setau saya yang pertama mengakui kedaulatan adalah negara Mesir), gak akan pernah didengar nih negara di dunia internasional. Trus jangan salah lagi, Palestina saja yang krisis begitu ikut memberi bantuan kok ke Aceh saat Tsunami desember 2004. Jadi, masih mikir secara egois, dalam negeri dulu?? (which means gak akan selesai sampai kiamat, namanya negara kan adaa aja masalahnya) mending cari negara lain aja....

Pikiran lain adalah relawan yang berangkat ke sana kan tanpa izin pemerintah, jadi ngapain pemerintah 'repot' mengupayakan agar mereka kembali. Lhah wong mereka juga gak mau pulang kok. Ngapain coba...??

Nah jawabannya, kembali ke UUD dasar negara kita yang dalam pembukaannya memuat tujuan nasional yang salah satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Selama mereka masih berstatus WNI, di manapun di belahan dunia ini harus dilindungi, tanpa syarat apapun. Bayangkan, wong yang 'teroris' Hambali aja di Amerika sono masih diupayakan untuk dipulangkan dan diadili di Indonesia, ya apalagi yang relawan ini. Cukup jelas yaa...

Banyak lagi pikiran-likiran nyeleneh lain yang kelihatannya brilian tetapi ternyata (menurut saya) sangat hedonis dan materialistis ; ujung ujungnya duit... Padahal para pendiri bangsa ini tidak mendirikan negara dengan duit tetapi keringat dan air mata, kehormatan dan perjuangan. Hayo jujur aja, keberatan mengurus mereka kaena mahal kan...? hehehe (nuduh.com)

Udah ah demikian tadi uneg-uneg saya, karena setahu saya untuk beramal kita harus berilmu dulu, nah boro-boro mau menuntut ilmu kalo dasarnya aja kita gak yakin. Dalam masalah ini mungkin teman-teman banyak menemui pemikiran pemikiran seperti di atas, saya sudah mencoba membantahnya secara sederhana. Nah sekarang keputusan di tangan rekan-rekan sekalian, masih cuek atau tidak?

Mungkin jawabannya "ya jelas nggak cuek lah, keparat, dsb". OK segala hujatan anda dapat dipahami, tetapi sekarang udah lewat masanya menghujat dan sebagainya, saatnya aksi nyata. Tidak bisa dipungkiri bahwa aksi relawan tersebut, misalnya, adalah bukti bahwa aksi dari pemerintah yang masih kurang memuaskan. Jadi mohon jangan salahkan mereka secara mentah-mentah. Salah satu aksi yang bisa kita lakukan (dan ini sebenarnya sudah lama isunya, hanya muncul secara sporadis kalo ada berita kekejaman isarel seperti kemarin) adalah memboikot produk pro zionis.

Memboikot bukan mengharamkan barangnya, karena mengharamkan yang halal adalah terlarang (maaf bagi yang non muslim kalo gak jelas). Tetapi ini merupakan bentuk perlawanan termudah (kalo tidak dibilang terefektif, bagi saya sih terefektif adalah pengerahan pasukan tempur ke sana dan pemusnahan masal haha...) yang dapat dilakukan, untuk tidak membantu (secara tidak langsung) kejahatan mereka, denagn cara memberi pukulan telak ke kantong mereka.

Secara sederhana, kita menahan diri dari membeli produk pro zonis agar mereka tidak mendapat keuntungan yang oleh mereka digunakan untuk membeli peluru membunuh rakyat PAlestina. Anda mengatakan mungkin itu konyol, silakan, tetapi kenyataannya seperti itu, kok. Anda juga mungkin mengatakan itu tidak efektif. Saya bilang tadi memang tidak efektif karena yang paling efektif adalah menerjunkan pasukan militer kesana dan menghabisi mereka, hehe... Tetapi bila lihat-lihat di internet banyak juga hasil efektif dari boikot ini.

Untuk produk yang diboikot atau gimana dasarnya bisa tanya mas Dian (hlooo...???) atau situs legendaris inminds.co.uk (tapi please, gak usah lebay nanya "trus gimana dunk apa komputer gue musti ganti prosesor? Kebanyakan yang nanya sinis gini tuh gak aksi sama sekali, dan udah tau juga dia bahwa memang beberapa produk susah banget diboikot dan cari alternatifnya, trus ya udah pake aja, gitu, tapi sebagian besar bisa kok)

Maksud saya di sini, mungkin ada yang berpikiran hla wong Pemerintah aja nggak memboikot, ngapain kita memboikot? Nah pola pikirnya adalah seperti maslah relawan tadi. Mungkin dirasakan pemerintah aja gak nyata aksinya, mengapa tidak bergerak sendiri? gitu lho... yaa intinya banyak aksi yang bisa dilakukan lah.

Roda zaman terus berputar, terseret tertatih tatih... (lagunya Ebiet G ade).. Kita mempunyai andil dalam takdir kita sendiri-sendiri, sekarang pilihan ada di tanganmu, apakah andilmu menggoreskan tinta emas atau noda dalam kehidupan. Sadarlah mulai sekarang, dan bergeraklah...

Jurangmangu - Kebumen
Juni 2010

Arif S